Jumat, 09 November 2007

Diskusi untuk mencari solusi

artikel ini ada juga di: http://www.allvoices.com/contributed-news/3734342-diskusi-untuk-mencari-solusi


[cover thumbnail]



Diskusi untuk mencari solusi


Berapa banyak dari kita yang suka diskusi?.

Banyak sekali, mengapa kita suka berdiskusi?. Diskusi merupakan bagian
dari kehidupan di komunitas kita, dengan berdiskusi kita menjadi terlibat aktif
dalam kehidupan ini.

Tetapi diskusi juga akan menimbulkan masalah bila sudah terjadi perbedaan
“persepsi” atau “cara pandang terhadap suatu masalah?”.

Bila sudah begini, bukan solusi yang didapat, tetapi diskusi tanpa ujung
(Debat Kusir), hingga menyebabkan perpecahan antar teman, antar saudara,
antar pegawai, antar perusahaan, antar lembaga antar komunitas, intinya
terjadi perpecahan antar manusia itu.

Seperti yang sudah saya jadikan judul diatas, tujuan berdiskusi adalah men-
cari “SOLUSI”, bila ternyata tidak ada solusi, maka sebaiknya diskusi dihenti-
kan saja sementara waktu, dan bisa dimulai lagi setelah sama-sama menca-
pai proses pendewasaan atau evolusi pola fikir lebih lanjut.

Bagaimana tanda-tandanya diskusi harus dihentikan?

1. Bila sudah mulai berdiskusi “tidak lagi menjawab obyek permasalah-
an, tetapi lebih cenderung mengarah ke karakter (sifat/ personality)
orangnya.

Sederhananya, “Jawablah inti permasalahan, bukan mengkritik sifat
orang yang menjadi lawan diskusi”, atau “attack the problem not
attack the people’s character “.

2. Bila berdiskusi sudah mulai menunjukkan level sosial dirinya, misal-
nya: jabatannya, rasnya, sukunya, tingkat pendidikannya, usianya,
kekayaaannya, dan level-level sosial lainnya, dimana mungkin saja
memang dia lebih unggul.

Tetapi diskusi bukanlah untuk menunjukkan status sosialnya, namun
mencari “solusi” dari permasalahan yang muncul, dimana status
sosial tidak ada pengaruh dalam berdiskusi untuk mencari solusi
yang terbaik, walaupun bisa dengan interferensi dengan status
sosial ini, tetapi solusi yang didapat tidak optimal.
3. Mencari back up/ dukungan alasan dari orang lain yang lebih hebat
dari lawan diskusinya, dan back up ini merupakan public figure, dari
buku A, dari buku B, tokoh masayarakat, tokoh lembaga pendidikan
dengan gelar Doktor atau Profesor misalnya tetapi tidak memberi-
kan referensi baik berupa buku, links di internet, atau sekedar copy
n paste dari suatu tempat dengan tanpa memberikan alamat web-
sites-nya.

Cara ini tidak berarti, sebab ada kemungkinan cuma memanfaatkan
namanya saja, karena ada kemungkinan tokoh-tokoh tersebut tidak
memberikan statement tersebut.

4. Mengasumsikan secara sefihak bahwa lawan bicaranya, seperti ini
dan itu, misalnya sifatnya, misalnya mengasumsikan si A pembo-
hong, atau misalnya sok suci, misalnya sok pintar, misalnya sok
hebat, dan sok-sok lainnya.


Hal seperti itu tidak boleh terjadi, terkadang pola pikir baru memang
belum ada referensinya, misalnya Copernicus di masa lalu mengatakan
pusat tata surya adalah matahari bukanlah bumi, dan planet-planet
adalah bulat,  sedangkan bumi menurut beberapa kitab suci merupakan
pusat dari jagat raya dan datar, yang terdiri hanya dari planet kita saja,
tidak ada planet lain, sebab matahari, bulan dan bintang hanya hiasan saja.

Pola fikir Copernicus hasil dari analisa dan pola fikir itu memang
belum ada sebelumnya, sedangkan para agamis merasa yakin
benar bahwa pusat tata surya adalah bumi berdasarkan kitab
sucinya (baca Genesis di Bible, Torah dan atau Asbabun Nuzul).

Akhirnya para theist dan agamis bahkan mereka mengasumsikan
Copernicus secara sepihak, bahwa Copernicus musuh Tuhan, ilmu-
nya cetek, belum mencapai taraf esensi, masih taraf sensasi, men-
cap dia sebagai penyihir, orang gila dan sebagainya, lalu mereka
beramai-ramai membunuh Copernicus dan membakar penelitiannya
bersamaan dengan tubuhnya, tragis bukan?.

Nyatanya sekarang?.

Bila sudah seperti ini, maka akan terlihat jelas bahwa bukan solusi
yang akan di dapat tetapi malah peperangan, hal ini terjadi biasa-
nya si lawan bicara sudah tidak bisa mencari “kata-kata argument
secara analisa dan logika dan akhirnya terpojok” hingga sudah
bukan solusi lagi yang dicari, tetapi sudah beralih untuk menyela-
matkan harga dirinya (dignity) dari rasa malu karena kalah dalam
hal apapun (ego).
Kenapa harus malu?, inikan diskusi untuk mencari solusi yang ter-
baik?. Bila gagal dan solusi orang lain yang dipakai, itu malah
bagus.

Sebab team yang ada didalamnya bisa terhindar dari kesalahan
yang mungkin saja terjadi “di masa depan” bila pola fikir terjebak
dan tidak ada jalan keluar, harus ada pola fikir baru agar disesuai-
kan dengan “keadaan” yang telah berubah dan “solusi” yang dipakai
diharapkan mampu untuk membuat perbedaan yang lebih baik.

Jangan berfikir pribadi dan dimasukkan dalam memory sedih kita,
tetapi berfikir bagi orang lain, berfikir untuk kemanusiaan, bahkan
kita harus berfikir bahwa tanpa “solusi” tandingan yang kita berikan,
belum tentu muncul solusi tersebut, yang kini dipakai (^_^).

Jadi sebenarnya kitapun berjasa agar solusi yang paling baik itu
muncul.

5. Menghentikan “diskusi”, bila sudah terlihat tanda-tanda kemarahan
dan ego ditulisan maupun perbuatan, apalagi bila sudah terlihat
adanya kekerasan fisik, wah malah bukan solusi yang didapat, tetapi
munculnya permasalahan baru.

Istirahat dulu, sembari berfikir lebih jernih, mencari banyak ragam
referensi-referensi yang dibutuhkan bila ada, gunakan pola fikir yang
mengarah pada kemanusiaan bila itu masalah kehidupan bermasya-
rakat, bila masalah science, ada baiknya analisa dan mencari tero-
bosan diluar pola fikir sebelumnya untuk tujuan yang sama.

Break (istirahat) dulu, kalau perlu saling meminta maaf, dan yang
paling cerdas dan paling bijaklah yang biasanya lebih dulu meminta
maaf.

Terkadang orang awam melihat bahwa yang meminta maaf adalah
orang yang kalah dalam diskusi, padahal kemungkinan besar malah
dia yang paling bijak dan paling pintar dalam memberi solusi, hanya
karena kalah “bentakan”, saja, maka dia mengalah.

Ingat, minoritas belum tentu “idenya buruk” dan tidak diikuti di masa
depan, sebab ada banyak orang minoritas yang cerdas dijamannya
dan terpuruk dikucilkan bahkan di bunuh, seperti Copernicus, Gali-
leo Galilei, Jesus, Buddha, Joan of Arc, Kartini, Mahatma Gandhi
dan orang-orang bijak lainnya.

Tetapi di masa depan, orang-orang seperti ini justru banyak di ikuti
karena keteguhannya, kekonsistenannya memegang teguh visi per-
baikan pada kemanusiaan & pada apa yang di yakininya.
Tipe-tipe orang-orang yang memberikan solusi untuk masa depan
yang lebih baik adalah tipe Denying atau Revolting (pembantahan,
penyangkalan atau pemberontakan) pada pola fikir umum (common
sense) di masa itu yang telah dianalisa salah olehnya, hingga telah
membawa dampak buruk pada masyarakat di masa itu dan bila
diteruskan akan membawa dampak buruk juga di masa depan.

Tipe-tipe orang yang memberi solusi adalah tipe para Inovator
(pendobrak hal baru)/ Pioneer (para perintis) dan bukanlah tipe
pengekor (follower) yang cenderung memakai pola fikir umum
(common sense), mistik dan pola fikir agamis.

Tipe manakah kita?

artikel ini ada juga di: www.angelmichael.cjb.net

Tidak ada komentar: